Berdasarkan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022, NTT menempati tingkat prevalensi kekerdilan (stunting) tertinggi di Indonesia, yakni mencapai 48,3 persen. Ironisnya, 5 (lima) kabupaten di NTT, masuk 10 (sepuluh) besar angka prevalensi stunting tertinggi di Indonesia, yakni Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Alor, Sumba Barat Daya, dan Manggarai Timur.
Karena itu, untuk mempersiapkan sumber daya manusia sehat dan berkualitas dalam menghadapi 100 tahun Indonesia merdeka dan menyambut bonus demografi, maka Undana dan BKKBN NTT melakukan Kampanye Percepatan Penurunan Stunting yang dilaksanakan di Auditorium Undana, Senin (4/4/2022).
Kampanye yang dimoderatori Koordinator Pusat HAM, Gender, Anak dan Kependudukan LP2M Undana, Dr. Detji K. R. Nuban, SH., MH tersebut menghadirkan narasumber utama, yakni Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Emanuel Melkiades Laka Lena, Wakil Walikota Kupang, dr. Hermanus Man, Kepala BKKBN NTT, Marianus Mau Kuru, SE., MPH dan Kepala LP2M Undana, Dr. Ir. Damianus Adar, M. Ec.
Hadir pada kesempatan itu, Wakil Rektor Bidang Kerja Sama, Ir. I Wayan Mudita, M. Sc., Ph. D, Direktur Program Pascasarjana (PPs), Prof. Feliks Tans, M.Ed., Ph.D, Dekan Fakultas Keguruan dan Pendidikan (FKIP), Dr. Malkisedek Taneo, M. Si, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM), Sekretaris LP2M, Dr. Simplexius Asa, M.Hum, serta para dosen di lingkungan Undana.
Rektor Undana, Dr. drh. Maxs U. E. Sanam, M. Sc ketika membuka kampanye tersebut mengungkapkan, dalam mencapai visi Indonesia emas tahun 2045 sekaligus menyambut bonus demografi di Indonesia, perlu persiapan sumber daya manusia sehat dan memiliki kompetensi.
Karena itu, pihanya ikut menyayangkan peluang bonus demografi yang sudah di depan mata, namun, NTT masih dililit masalah stunting. Sebab, hal tersebut akan ikut memengaruhi perkembangan kognitif anak. Mengutip data SSGI, Rektor menyebut terdapat 24,4 persen prevalensi stunting secara nasional. Ia tak dapat membayangkan jika status prevalensi Kabupaten TTS yang lebih tinggi dua kali lipat secara nasional, yakni mencapai 46 persen.
Karena itu, menurutnya, tuntutan penurunan 14 persen tahun 2024 oleh Presiden Jokowi harus disikapi dengan melakukan eksen riil di lapangan secara serius.Dr. Maxs mengaku, Undana siap dengan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). “Kita bisa kirimkan mahasiswa kita berada di lokasi desa. Mereka bisa berada di sana selama 6 bulan. Belajar tidak lagi di ruang kelas, perpustakaan atau lab, tetapi belajar harus dilakukan di tengah masyarakat, dunia usaha atau industri,” tandasnya.
Ia menambahkan, Undana memiliki kontrak kinerja dengan Kemendikbudristek, salah satunya soal implementasi MBKM. Dan, kerja sosial adalah salah satu dari 8 (delapan) program MBKM. Selain mahasiswa, ia juga mendorong dosen agar melakukan penelitian dan pengabdian di desa. “Kita tinggal menunggu koordinasi untuk segera damping ke lapangan. Tahun ini Undana sudah memiliki Pusat Studi Pendidikan Luar Sekolah untuk mengakomodir MBKM,” ungkapnya. Ia menegaskan bahwa Undana siap mendukung percepatan penurunan stunting di NTT.
“Paradigma pendidikan saat ini, mahasiswa tidak sekadar melakukan pembelajaran konvensional di kampus, tetapi harus berlajar dan magang di lapangan, serta berdampak bagi masyarakat,” tukas Rektor. Dr. Hermanus Man dalam paparanya menegaskan, kampenye penurunan stunting di lingkungan kampus perlu dilakukan. Sebab, para mahasiswa sebagai calon suami-istri ketika Indonesia memasuki usia 100 tahun. Ia memprediksi, banyak dari mahasiswa Undana saat ini yang sudah memiliki anak tahun 2045 nanti. Karena itu, perlu edukasi kepada mahasiswa.
Dr. Herman menegaskan, hal paling penting adalah asupan gizi bagi calon suami dan istri. Ia menyoroti adanya budaya hidup kurang sehat di kalangan masyarakat NTT, seperti mengonsumsi miras, yang menurutnya akan menurunkan kualitas sperma bagi calon suami.
Ia menegaskan, manusia sehat dipersiapkan dari rahim yang baik. Selain itu, asupan gizi bagi anak selama 1000 hari pertumbuhan perlu diperhatikan. Pihaknya juga mengingatkan, upaya penurunan prevalensi stunting butuh peran seluruh pemangku kepentingan mulai dari pemerintah, akademisi, tokoh agama, bisnisman hingga masyarakat.
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Emanuel M. Lakalena menyatakan, komisi IX bermintra dengan sejumlah kementerian maupun badan, mulai dari Kementerian Kesehatan, Kementerian Ketenagakerjaan, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM), Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan), hingga Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan). Ia menyatakan, pada prinsipnya komisi IX mendukung upaya percepatan penurunan stunting di Indonesia, utamanya NTT.
Menurutnya, salah satu kendala upaya penurunan stunting, dikarenakan masih adanya ego sektoral antar lembaga dan kementerian, sehingga menyebabkan tidak adanya koordinasi dan singergitas dalam melakukan perencanaan aksi. Pihaknya mengakui, angka prevalensi di NTT, khususnya di Kabupaten TTS, bukan hal yang mudah untuk diturunkan.
Sebab, sebelum pandemi saja, angka stunting sulit menurun. Apalagi saat ini telah disusul dengan adanya pandemi. Namun menurutnya, dukungan Komisi IX terhadap kerja dan aksi BKKBN terus mendapat dukungan komisi dengan fungsi legislasi, pengawasan dan anggaran. Dengan angka prevalensi yang tinggi, NTT juga dituntut untuk bisa menurunkan angka prevalensi hingga 14 persen.
Terkait dengan perbedaan angka prevalensi stunting di tingkat kabupaten, provinsi maupun data BKKBN, menurutnya perlu sinkronisasi data, sehingga memudahkan proses kebijakan anggaran dan lainnya. Untuk itu, ia meminta pihak Undana agar ikut membantu proses sinkronisasi data dimaksud.
Kepala BKKBN NTT, Marianus Mau Kuru, SE., M. AP dalam penjelasannya juga ikut menyoroti bonus demografi di Indonesia, yang harus disikapi dengan mempersiapkan sumber daya manusia berkualitas. Salah satunya adalah percepatan penurunan stunting. Pihaknya membeberkan sejumlah penyebab stunting diantaranya, gizi yang buruk, jarak lahir dekat, ASI tidak diberikan dalam dua tahun awal, sanitasi yang buruk, pendidikan ibu terhadap isu kesehatan, terutama stunting, pendapatan rendah, ASI tidak ekslusif selama 6 bulan dan imunisasi yang tidak lengkap.
Pihaknya meminta agar Undana berperan dalam program MBKM, serta penelitian dan pengabdian dosen. Saat ini, jelas Marianus, BKKBN NTT memiliki data bayi stunting mulai dari nama dan alamat bayi yang berpotensi stunting.
Marianus menegaskan bahwa Perguruan Tinggi (PT) dan mahasiswa sangat penting dalam percepatan penurunan stunting. Ia mengatakan, PT sebagai sumber pengetahuan untuk melakukan kajian dan penelitian, yang lebih baik dan ilmiah, PTmemiliki mahasiswa yang juga sebagai sasaran dari upaya percepatan stunting, terkait upaya preventif. Karena itu, ia berharap mahasiswa bisa menjadi model dan contoh untuk mengedukasi masyarkat dalam penurunan stunting di NTT.
Sementara itu, Kepala LP2M, Dr. Damianus Adar, M.Ec mengaku, dalam upaya penurunan stunting, perlu diversifikasi pangan lokal. Menurutnya, masyarakat NTT harus menghargai pangan lokal dengan meningkatkan pola konsumsi. Pihaknya menyebut, tahun ini, LP2M melalui kebijakan Rektor Undana akan fokus pada penelitian dan pengabdian masyarakat.
Khusus untuk pengabdian masyarakat, salah satu temanya adalah soal stunting. Dikatakan bahwa dua desa di 5 kabupaten yang masuk 10 besar nasional akan menjadi fokus Undana melakukan pengabdian oleh sejumlah dosen, salah satunya adalah dengan pemberdayaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Masih terkait dengan pangan lokal, papar Kepala LP2M, terdapat 57 janis karbohidrat, 55 jenis sumber lemak, 26 jenis kacang-kacangan, 237 jenis buah-buahan, hingga 178 jenis sayuran yang dimiliki NTT. Karena itu, menurutnya, jika BUMDes diberdayakan untuk bisa mengolah keanekaragaman pangan siap saji, maka tingkat konsumsi masyarakat terhadap pangan lokal akan semakin meningkat dan akan ikut menekan peningkatan angka stunting di NTT. (rfl/UNDANA)