AMRETA – WANGSA – JENGGAMA yang memiliki makna Air Garis Kehidupan pada pameran Tera Rupa #2 telah diikuti oleh empat Angkatan. Himpunan Mahasiswa Prodi Seni Murni periode 2022/2023 telah menciptakan iklim yang segar terkait proses dan artistik seni. Pada bulan Januari ini mengadakan pameran yang dilaksanakan di N-CAS, Institut Seni Indonesia Denpasar. Yang akan dibuka oleh rektor Institut Seni Indonesia Denpsar pada 19 Januari 2023 pukul 09.00 WITA. Pameran Tera Rupa #2 memiliki materi yang terdiri dari dwimatra dan trimatra yang diwujudkan dengan patung yang dibuat secara individu dan berkelompok. Pameran menggunakan pendekatan otomatisme, kemudian menyelenggaran workshop dengan judul ‘automatic clay medium batu padas’. Presentasi kekaryaan menggunakan konsep memusat seperti matahari sebagai pusat planet-planet. Terdapat dua kecenderungan artistik otomatisme yang saya temukan yakni figuratif dan abstrak. Dimana karya lukisan disana memiliki kecendrungan perspective yang sangat dinamis dan struktur komposisi artistic yang menyertai.
Sebagai seorang mahasiswa, tentunya pameran ini memberikan banyak pengalaman dalam hal mengelola ruang seni rupa. Kedua kurator yakni I Wayan Setem dan I Wayan Sujana Suklu memiliki andil besar untuk memberikan pengetahuan tata kelola seni. Mikke (2016) telah menuliskan buku yang mengulas tata Kelola seni dari berbagai pandangan dan bidang keilmuan dalam judul ‘Menimbang Ruang Menata Rupa’. Hubungan kompetensi antar seni yang ideal, dapat diasumsikan bahwa persoalan menggagas sebuah perhelatan atau memanajemen sebuah pameran adalah wujud dari bagaimana perkara penyajian seni harus dijalankan. Penyajian seni atau upaya mengagas pameran selama ini ternyata telah menjadi bidang kajian akademis yang sangat tertinggal. Hal ini dapat dilihat dari minimnya penelitian, penulisan, atau diskusi wacana yang mengarah kepada kesadaran untuk mengerjakan “seni mengatur pameran” secara lebih khusus.
Pameran ini merupakan praktek langsung dilapangan menghadapi berbagai masalah, kendala dan hal terkait tata kelola seni yang diteorikan tersebut. Teori yang bahkan belum didapat secara sempurna oleh mahasiswa sebelumnya adalah awal untuk mencari ilmu yang didapat melalui pengalaman dan praktek yang dialami selama persiapan dan penggrapan. Contoh pengalaman yang pertama adalah, strategi teknis pameran. Diawali dengan publikasi dan promosi, siaran pers yang belum dimaksimalkan. Publikasi adalah membuat bahan berita atau serangkaian tindakan untuk mencatatat acara yang berhubungan. Adapun promosi adalah tindakan memperkenalkan/menyebarluaskan berita/publikasi tersebut untuk meningkatkan volume penjualan atau penonton dalam pameran. Tindakan yang paling utama adalah berpikir bagaimana membangkitkan gairah public untuk mencari informasi proyek/pameran yang salah satu caranya adalah memberi undangan resmi dengan menjalin hubungan dengan pers (media massa).
Masalah kedua adalah mengenai harga karya seni (Art Pricing) dan data karya seperti judul karya, ukuran, medium, dan tahun pembuatan, dengan minimnya data yang belum disiapkan oleh para pelukis akan menjadi persoalan, karena penetapan harga (pricing) karya seni selain untuk seniman juga bertujuan tidak hanya untuk koleksi, investasi, divestasi, dan tujuan pembiayaan, tetapi sebagai bagian dari penilaian yang berkaitan dengan penilaian karya yang berkaitan dengan penilaian karya untuk sumbangan amal, perencanaan pajak, asuransi dan fungsi lainnya. Sehingga penilaian monoter atau penetapan harga semacam ini menjadi lahan yang tak terbatas bagi banyak stakeholder dimana berhubungan dengan seni, misalnya pemerintah, lembaga pajak dan bea cukai, pegadaian, galeri, museum sampai rumah lelang. Perkara menghargai atau menetapkan harga lukisan bukanlah hal yang mudah.
Dalam khasanah penetapan harga secara umum, menurut para ekonom, harga,nilai dan faedah (utility) merupakan konsep yang berkaitan. Utility adalah atribut suatu produk yang dapat memuaskan kebutuhan. Poin pentingnya adalah ketika mengalami langsung kasus-kasus dilapangan membuka mata penulis untuk membuat catatan terkait dengan tahapan-tahapan mempersiapkan pameran. Mendapat banyak pengalaman apabila praktek langsung dilapangan sangatlah berbeda dengan teori, karena sering menemukan banyak tahapan persiapan yang sering terlupakan.
Untuk itu sangatlah penting bagi seorang pelukis yang akan beranjak menjadi seniman, memiliki kesadaran untuk mencatat setiap ide mereka yang dikemudian hari akan menjadi desain brief. Artefak-artefak yang ada didalam proses eksplorasi memiliki pengaruh yang sangat kuat kepada seniman dalam berkarya. Ketika masuk kemateri pameran, bergulat dengan visual dwimatra dan trimatra, yakni lukisan, patung, art objek dan istalasi sungguh membuat penulis bergairah, untuk mengamati setiap detil ekspresinya. Artistik kekaryaan terbagi menjadi dua katagori yakni ada yang bercorak figuratif atau abstrak. Corak figuratif ini juga bisa kita kategorikan lagi jenis-jenisnya dengan simbolik, metaforik, realisme, naturalism dan romantisme. Kemudian ada pelukis yang hanya bermain komposisi warna dimana kita sebut sebagai abstrak.
Untuk itu penulis sendiri memiliki pendekatan, konsep dan visual yang cenderung simbolik surealis. Hal ini dimulai dari pendekatan yang penulis ciptakan yaitu Fog Formation. Kekaguman penulis dalam mengamati proses pembentukan kabut, membuatnya terinspirasi menciptakan pendekatan dengan memulai dari titik-titik embun yang dimetaforikkan dengan cipratan warna. Cipratan yang direspon menggunakan imaji alam bawah sadar untuk melihat sosok apa yang muncul dibalik titik-titik embun cat warna tersebut.
Setelah mendapatkan sosok, penulis akan merespon bentuk tersebut menggunakan teknik automatic drawing yang lagi-lagi mengandalkan kekuatan alam bawah sadar. Kecenderungan penulis memakai perpaduan bentuk garis spiral dan gelombang dikarenakan filosofi motif ini sarat akan makna yang mendalam, spiral adalah lambang bahwa kehidupan terus berjalan,berputar melintasi dari satu masa ke masa yang lain. Dan gelombang dimaknasi sebagai symbol air, air kehidupan yang dapat menyublim salah satunya menjadi embun. Penulis membiarkan kekuatan alam bawah sadar dari automatik untuk memimpin gerakan tangan agar mampu menciptakan simbol-simbolnya sendiri dan terhindar dari pengaruh pikiran yang dapat mematikan kekuatan dari automatik itu sendiri.
Setelahnya akan dilakukan finishing dengan membentuk garis yang mampu menciptakan kesan plastis dari objek, dalam hal ini sosok-sosok yang ada didalam alam bawah sadar penulis. Sesungguhnya kekuatan dari keunikan apa yang muncul dari alam bawah sadar sangat dipengaruhi oleh sampai mana pemahaman kita tentang kualitas buku yang kita baca, apa yang kita dengar, bagaiamana kondisi lingkungan bahkan mengenai pola hidup dimana akan sangat mempengaruhi kesadaran kita. Untuk itu, agar memiliki konsep yang matang dibutuhkan riset yang mendalam, tidak hanya melihat secara artifisial saja melainkan menelisik makna tersebut sampai kerelung-relung terdalam. Barulah akan terlihat keunikan konsep yang diciptakan dan mampu mempertanggungjawabkan konsep tersebut secara argumentatif. Ketika mahasiswa memiliki pendekatan dan konsep kekaryaan, maka poin penting selanjutnya adalah konsep visual.
Hal ini dimulai dari berbagai macam eksplorasi, lalu mengupgrade mindset pembentukan objek visual yang mampu menampilkan bentuk deformatif dan oleh penulis, karya ini dimaksimalkan dengan wujud deformatif yang dipengaruhi oleh simbol simbolik dari hasil riset dan diharmonisasikan melalui konsep visual yang surealis dimana memberikan kesan sosok aneh atau sosok menyeramkan. Aneh karena bentuknya tak lazim, menyeramkan karena siluet plastis.
Dengan begitu kegiatan pameran Tera Rupa #2 mampu memberikan banyak pengalaman dan pengetahuan secara untuk diimplementasikan seperti halnya terjelaskan dari buku Mikke (2016) Menimbang Ruang Menata Rupa, dan memiliki kesan khusus bagi penulis karena mampu merespon tematik pameran yang mewajibkan menggunakan automatisme sebagai dasar dengan menampilkan karya menggunakan pendekatan Fog Formation.
Selamat memasuki ruang rupa seni murni!
(ISIDPS)